KH. Zainal Arifin Thoha (5 Agustus 1972 – 14 Maret
2007)
KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (22 Pebruari 1957 –
17 Juli 2007)
Fahrudin Nasrulloh (16 Agustus 1976 – 30 Mei 2013)
KH. A. Aziz Masyhuri (17 Juli 1942 – 15 April 2017).
I
Gus Zainal, yang bernama lengkap Zainal Arifin Thoha (ZAT). Saya
mengenalnya sebelum masa reformasi, entah acara sastra atau barangkali teater,
ataukah sewaktu silaturahmi di kontrakannya Teguh Winarsho AS, Amien
Wangsitalaja, Abdul Wachid BS (sempat bertemu D. Zawawi Imron), tapi sepertinya
tidak. Sangat mungkin saat nongkrong di IAIN SuKa Yogyakarta, kala ngobrol
dengan Hamdi Salad, Mathori A Elwa, Otto Sukatno CR. Jelas seingat saya bukan
di kontrakan Joni Ariadinata, Kuswaidi Syafi’ie
(nama-nama di depan, saya menyapanya Pak atau Mas), Marhalim Zaini, Raudal Tanjung
Banua dan Satmoko Budi Santoso. Ada tiga sapaan yang biasa meluncur dari mulut
ini ketika berbincang akrab dengannya, tergantung yang dibicarakan dalam suasana
bagaimana, dalam aura biokimiawi serupa apa, saya memanggilnya Mas, Pak, Gus,
setindak menyapa almarhum guru nulis saya
KRT. Suryanto Sastroatmodjo dengan pelbagai sebutan. Suatu kali (setelah beliau
merintis pesantren) saya tidak memanggil seperti biasanya Mas. Gus Zainal bertanya,
“Kenapa kau mengganti panggilan untukku dengan sebutan Pak, Nurel?” “Tidak apa
Pak” jawab saya sambil tersenyum.
Sebelum mendirikan Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang
kondang disebut-sebut Pesantren Kutub, saya sering diajak ke kantong-kantong
belajar (komunitas) di bawah naungan kampus UNY, untuk ngaji kitab seperti
kebiasaan pesantren pada umumnya di Jawa Timur (mungkin saat itu ada Muhidin M. Dahlan, tapi saya belum tahu dan
baru mengenalnya langsung tahun 2008 di Surabaya
di Rumah Buku-nya Diana AV Sasa). Barangkali dari kegelisahannya atas
jalan-jalan malam itu, awal gagasannya membabar
pesantren dekat Krapyak (meski masih rumah kontrakan) di depan ndalem-nya, atau jauh sebelum itu sudah ada
bibit meneruskan ruhaniah leluhurnya di Kediri. Darinya, saya banyak baca
buku-buku khasana timur, para pemikir muslim di perpustakaan pribadinya,
disamping berbincang soal pesantren semisal kangen suasananya. Penulis buku “Runtuhnya Singgasana Kiai NU, Pesantren, dan
Kekuasaan: Pencarian tak kunjung usai” (Penerbit Kutub 2003)
tersebut, tutup umur dalam usia sangat muda, tapi segenap
pemikirannya telah terwariskan kepada para santrinya, tidak terkecuali
kebiasaannya menulis sudah ditularkannya.
Saya belajar darinya mengenai kerendahan hati. Terus terang saat
itu saya sangat congkak, mungkin lantaran proses kreatif dalam menulis dari
autodidak nekat atau demikian watak ini idealis kebacut, kadang itu saya nikmati, sebab dunia tulis di Jogjakarta pada
khususnya menyerupai sekumpulan preman, maka mentalitas tangguh kudu ditunjukkan, meski tetap bersikap unggah-ungguh Jogjaan. Saya belajar keikhlasan
darinya juga, pun bersamanya batin ini disegarkan oleh kebiasaan berziarah kembali
terawat, yang dulu hanya saya lakukan saat singgah di Jombang saja. Beliau
tidak pelit ilmu, demikian bersahaja berbagi ihwal pengetahuan hingga nalar ini
tercerahkan; ada kesungguhan dalam ketaatan, kesantunan arif, keluwesan
bercengkerama, kehangatan sahabat dan saya menerima dengan ketelitian seirama
menyimak buku-buku, atau teringat bulir-bulir pengetahuan dari kitab-kitab yang
terpantul betapa indah kepadanya.
Sosoknya Gus, budi pekertinya Kyai, tapi dibalut persahabatan
guyub, percandaan teman, kedekatan kawan seperjuangan, maka jarak sungkan melebur, tinggallah senyum
manfaat tertoreh di kedalaman lubuk terdalam. Adalah benar ungkapan, orang-orang
yang dicintai sejatinya tidak meninggalkan kita, jasadnya sekadar istirah dalam
keharuman tanah mewangi, dan ketika kerinduan saling bicara; apakah kangennya menghampiri
atau kayungyung kita menjenguknya.
Daya tarik itu bertambah seiring waktu senantiasa menuju pengertian lebih, ke-anteng-an jiwa tampan; para pembaca
tentu mengetahui betapa suksesnya ia, karena para muridnya banyak yang berhasil
di bidang masing-masing terutama karya tulis, harapannya seakan terkabul semua.
Yang pasti, jarang sekali pesantren ditinggalkan Kyainya, tapi tetap makmur dan
dampaknya terus terasa di jiwa para santrinya, sampai yang tidak sempat
mengenal beliau dalam kehidupannya, dan betapa langgeng pengaruh karya-karya anak
didiknya menyebarkan pengetahuan yang sungguh melimpah bagi para pembacanya.
Ada ungkapan menawan yang keluar darinya sekaligus dipraktekkan
dalam perjalanan hayatnya, “Orang sukses adalah yang bisa mensukseskan orang
lain.” Kata mutiara tersebut umum, makolah
lumrah yang biasa hadir di tengah
perjalanan, tapi yang membuatnya merinding, beliau menerapkan dengan sangat
ikhlas, tidak pernah sekalipun mengundat-undat atau bercerita semacamnya.
Sekadar menyebut sebagian nama para santrinya, Gugun El Guyani, Lukman Santoso
Az, Bernando J. Sujibto, A Yusrianto Elga, Muhammadun AS, Mahwi Air Tawar, Salman Rusydi Anwar, Achmad
Mufid AR, Ahmad Muchlish Amrin, Muhammad Ali Fakih, dst. Ibarat kembang tertanam
merekah di hati, tak akan layu terus semerbak harum mewangi, demikian lelaku tanpa
pamrih bersama mengikuti jalur keridhoan-Nya. Sosoknya pengasuh, jadi bisa
menampung aliran apa saja apapun bentuknya, itu membentuk pribadinya tidak
terkurangi malah bertambah, seperti bengawan menerima aliran dari mana saja, lalu
dialirkan kepada siapapun yang menghendakinya.
Saya terima kabar duka meninggalnya beliau dari salah satu
santrinya tertanggal 14 Maret 2007. Saya tidak ke Jogjakarta, namun langsung ke
tanah kelahirannya bersama teman mondok saya sewaktu di Denanyar, Yunus Efendi
yang juga asli Kediri. Gus Zainal dimakamkan di tanah lahirnya, desa Tiru
Kidul, kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur. Tahun 2009, terbitlah buku “Kesaksian
Para Sahabat” beliau dengan judul “Mata Air Inspirasi, Mengenang Pemikiran dan
Tindakan KH. Zainal Arifin Thoha, Pendiri dan Pelopor Pesantren Mandiri” Penerbit
Kutub, Catatan Redaksi: Bernando J. Sujibto, Kata Sambutan: KH. Asyhari Abta. Tahun
2010, PUstaka puJAngga menerbitkan antologi puisi karya para santrinya bertitel
“Antologi Puisi Mazhab Kutub” dipengantari Fahrudin Nasrulloh dengan label
“Puisi dan Anak-anak Sejarah Zainal Arifin Thoha.” Akhirnya, Haul beliau terus
berkumandang setiap tahun dan kembang di atas makomnya senantiasa harum; menyapa
kabar para peziarah!
II
Guru tulis saya Suryanto Sastroatmodjo, ia banyak memberikan
pengetahuan mengenai dasar-dasar menulis atau diri ini diharuskan memulai
proses kreatif dari awal lagi, meski bacaan serta tulisan saya telah bertumpuk catatannya.
Saya sudah banyak baca karya-karya besar kelas dunia (dari terjemahan) masa
itu, tapi diwajibkan membaca karya-karya puisi anak sekolah di majalah,
misalnya. Perkenalan dengannya sekitar akhir tahun reformasi, ketika kontrak
rumah bersama tiga teman kampus UWMY di Nagan Lor, di depan persis beliau
bermukim. Sebelah tempat tinggalnya, ada warung yang biasa kami bertatap muka
dengannya sekadar bersapa, tak ada perbincangan, apalagi dialog sastra dalam
tempo setengah tahun lebih sebelum dekat, karena masa itu gairah muda saya
membara, tidak mau tunduk kepada siapa pun jua.
Mungkin sudah kehendak langit suratan takdir, waktu betapa
ajaib seolah beliau dewa penolong jiwa ini yang tengah ditempa kegelisahan
sangat. Kejadiannya berawal dari penolakan sebuah penerbit atas karya saya, dan
sebendel catatan itu hampir terbakar semua, jika tidak diamankan teman
kontrakan; karya yang terhimpun sejak sekolah Aliyah, saya bakar dengan isi
kepala suntuk menghampiri putusasa. Dan teman saya Meindarto, Gandung, Suratman,
menyelamatkan lewat melarikan karya saya ke hadapan beliau. Kebetulan Mas Sur
tengah duduk di teras rumah seperti hari biasanya, dan buku itu sampai di
tangannya. Dengan hati gelisah pun masih cinta buku tersebut, saya menyusul
menghadap beliau. Dalam kondisi sedih memberat, pelahan saya diberi wejangan,
namun telinga ini rasanya buntu, bunga-bunga segar harum sulit terhirup,
gula-gula manis terasa ampang.
Waktu berganti, awan berarak tersibak bayu hadirkan langit
membiru, saya seolah dihipnosis setelah kejadian di atas, lalu kerap berbincang
akrab menimba pengetahuan darinya. Ada beberapa panggilan akrab kepadanya,
tergantung aura biokimiawi suasana yang tengah dibicarakan beliau, Mas, Pak, Kak.
Yang mengejutkan, beliau pun memanggil saya dengan sebutan berbeda-beda, Dimas,
Adik, Mas, dan Nak. Sedang mereka yang bertamu kerap memanggil beliau Eyang,
Romo, Kanjeng, Pak, Kiyai (versi Jawa). Ia dikenal di Jogjakarta sebagai ‘Ensiklopedi
yang Berjalan’ dan saya tidak memungkiri, sebab kerap para tamu menanyakan sejarah-kebudayaan,
diterangkan dengan sangat hapal seakan melihat siaran televisi langsung, lantas
menceritakan ulang dengan detail. Namun tidak ke sembarang orang mau bicara
lebih, yang sering terjadi berlaku seperti orang bodoh atau pura-pura tidak
tahu. Sehingga banyak tamu kecelik
mengira bukan beliau, lalu pulang dengan tangan hampa. Ini lantaran pakaian
yang dikenakan setiap hari seoleh gembel, dengan sarung diselempang seperti
tokoh boneka si uncil.
Kebiasaannya baca buku di teras rumah dengan pakaian
seadannya itu, kadang tidak memakai baju, membuat para tamu kebingungan,
apalagi tindak-tanduknya lugu. Semisal ada tamu ingin mendekat bertanya,
“Sedang membaca buku apa Pak?” enteng saja dijawab, “Ini gambar-gambarnya
bagus” dsb. Tidak jarang tamu itu dibiarkan menunggu sampai bosan lantas pergi.
Namun ketika orang-orang dekat beliau membawa teman dengan kata pengantar,
beliau biasanya ringan bercengkerama, jika tanpa prolog rasanya sulit mau
berbicara lebih. Jika diamati, para tamu yang kecelik kebanyakan berpakaian necis membawa mobil; mungkin dari
awal perjalanan telah membayangkan beliau tidak seperti pemulung perangainya
atau memang sudah membaca, dan memilih jalan sikap orang yang tak paham apa-apa
di depan mereka.
Saya belajar kerendahan hati darinya pula, menjadi gembel bukan
siapa-siapa. Kebiasaan lainnya menyayangi kucing, kadang ada sepuluhan ekor
yang diberinya makan setiap hari, semuannya liar tanpa tuan, dan seakan kucing-kucing
tersebut tahu di jam berapa Pak Sur pulang dari kantor. Beliau termasuk redaktur
senior koran Bernas (tempo itu), bolak-balik kantor ke Nagar Lor mengayu sepeda
ontel berpakaian seadanya, tulisan-tulisannya berangkat dari tulisan tangan
(dengan spidol biru atau pena), ini membuat repot para juniornya ketika hendak
diterbitkan di koran harian, dan kertas-kertas yang dipakai sembarangan kertas
bekas yang di baliknya masih kosong untuk ditulis. Ada memang beberapa karyanya
diketik komputer, hal itu melalui jasa rental, dan ia seakan abai
mendokumentasi lelembaran penghargaan yang pernah diberikan kepadanya,
kebanyakan lecek hampir termakan
rayap.
Perlu diketahui, beliau bermukim di Nagan Lor 21 bukanlah
tempat tinggal pribadinya, tapi diminta temannya sewaktu kuliah di UGM untuk
menempati, dan ia tidak milih kamar yang nyaman dalam rumah meski disediakan
untuknya; malah tinggal di gudang belakang dengan berserakan buku-buku, dan
saya tak pernah diperkenankan masuk di dalamnya, barangkali hawatir menghisap auranya.
Saya bercerita demikian, karena suatukali sengaja mengikuti dan tahu itu
sekejap saja, tatkala berbincang dengannya, lantas lekas ditutup pintunya. Sebenarnya
bisa saja masuk tanpa sepengetahuan beliau, sebab kuncinya hanya dengan gagang
sikat gigi dan itu tidak saya lakukan.
Suatu hari ngobrol dengan Mas Sur di teras rumah di bawah
rimbunnya pohon sawo, ada seorang tamu dan tidak lama kemudian saya mengetahui
kalau beliau penulis senior juga, Iman Budhi Santosa. Perlu pembaca tahu, sebutan
saya kepada orang-orang biasanya tergantung selera kenyamanan, semisal menyapa
Teguh Winarsho AS dengan Pak, sebab sejak kenal sudah berkeluarga (kini
sebutannya bertambah, Pak Bos Araska), dan kepada Iman Budhi Santosa menyebutnya
Mas, karena kedekatan semata. Lain hari saat duduk santai, kenal sastrawan Sri
Wintala Achmad serta para penulis (dari wartawan) Bernas. Dan salah satu kawan
pergerakan yang pernah saya ajak menemui beliau, Y. Wibowo (ini tidak saya
tulis lebih, sebab bisa merantak pada
kejadian tahun 1997-1998, yang di masa reformasi malah duduk-duduk di kosan
Kadipaten Kulon 49 C). Sedangkan kenal penyair Akhmad Sekhu dan penulis Tulus
S., semasa di Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM). Mengenal sastrawan sekaligus
kritikus Prof. Dr. Suminto A Sayuti, lewat pintu
penyair Asa Jatmiko. Penyair asal Jombang yang bareng saya, Ahmad Muhaimin
Azzet ketika membentuk Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia (KSTI) tahun 2000,
bersama penyair asal Lampung Y. Wibowo dan Si Thenk, mahasiswi ISI sang penggerak
dunia teater atau pertunjukan di kota pelajar Yogyakarta sampai sekarang.
Kebiasaan Pak Sur yang lain, tak pernah berpakaian baru,
andai ada yang menghadiahkannya, biasanya disimpan sampai usang, barulah kemudian
dikenakan. Bersamanya, saya sering diajak keluyuran mengunjungi candi-candi
sekitar Jogjakarta yang belum dikenal luas masyarakat luar, kebanyakan warga
kampung pun belum tahu, semisal Candi Ijo; kami sempat menyaksikan para arkeolog
membangun ulang pelahan, bertahun-tahun terbentuk kembali meski tak sempurna. Jalan
tersebut biasanya berkait bacaan yang tengah saya pelajari, sambil memahami pepohonan
serta daun-daunnya, menyapa alam mengajaknya bicara, mencari informasi dari
burung-burung, pun betapa intim dengan bebatuan sampai paham jenjang usianya,
ini sebab belajar mengakrabi, dipadu bacaan yang terpegang.
Beberapa bulan sebelum beliau mangkat, ada yang ganjil; banyak kucing liar di rumah saya di
Lamongan, sampai sekarang ada saja kucing-kucing itu, seakan dipaksa merawat
sambil mengingat beliau (sekitar tiga harian ini, kucing itu melahirkan tujuh
anak). Kejadian tersebut saya ceritakan dan ia tersenyum saja, atau mungkin ‘merasa
waktunya telah dekat,’ hampir semua karya beliau diberikan kepada saya
kebanyakan belum tercetak, dan sampai kini tidak banyak yang terbit, sebab saya
belum mampu menerbitkan, yang terbit barulah “Balada-balada Serasi Denyutan
Puri” (2006, beliau masih sempat menyaksikannya), dan kumpulan prosa “Sahibul
Hikayat al-Hayat” (2009, beliau telah wafat). Waktu ‘itu’ saya bengong tiada
firasat atau lekas-lekas menghapus lintasan tidak menyenangkan, dan sekitar
empat puluh harian saya berada di Lamongan, dada ini tersentak hebat, secara
reflek teringat Mas Sur “Apakah Mas Sur sedang sakit?” (batin ini bertanya
dalam diam). Dan setengah jam berlalu, Inna
lillahi wa inna ilaihi rojiun, ada kabar dari Jogja, Mas Sur telah
berpulang kepada-Nya, saat itu juga saya berangkat ke Jogjakarta.
Teman-teman seperjuangan ingin beliau dimakamkan di Taman
Makam Seniman Budayawan Giri Sapto, yang terletak di Bukit Gajah, Girirejo,
Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Namun keluarga besarnya berharap beliau dimakamkan
di daerah yang dekat para kerabatnya yang masih hidup, desa Papahan, Tasikmadu,
Karanganyar, Jawa Tengah. Lalu kami meluncur dari Nagan Lor 21 ke Papahan, diangkut
bus yang dikomandani salah satu murid pengguritnya, Koh Hwat. Mas Sur, saya masih menulis!
III
Fahrudin Nasrulloh, lahir di dusun Mojokuripan desa
Jogoloyo, kecamatan Sumobito, Jombang. Sejak di Denanyar pun semasa di Jogja
dapat dibilang seangkatan, namun baru kenal akrab setelah balik kampung ke
Jombang, dan saya kembali ke tanah kelahiran Lamongan; pertama kali mengenalnya,
kalau tidak salah sewaktu saya bedah buku di Mojokerto terus berlanjut. Di
Denanyar ia masuk sekolah MANPK, saya di MAN, andai saat itu berpapasan, paling
banter ketika ngaji pagi di depan asrama Al-Aziziyah atau teras ndalem pengasuh KH A. Aziz Masyhuri.
Meski seatap asuhan, bukan satu kelompok belajar, yang PK lebih ketat
aturannya, yang bukan Program Khusus bisa keluyuran atau santri-santri mbeling,
dengan leluasa nongkrong di warung kopi atau jalan-jalan ke kota, tentu
beresiko di hari jum’at membersihkan kamar mandi atau semacamnya jikalau
ketahuan.
Semasa di Jogja seingat saya pernah melihatnya, sore hari
berpapasan di pinggir jalan raya di pagar kampus gedung IAIN Sunan Kalijaga
sebelah timur (batin ini menerka; sepertinya ia anak lulusan MAN PK), di malam
harinya, saya membaca puisi di gedung sebelah Sekretariat Teater ESKA.
Ketidakbertemuan satu melodi ini mengingatkan kawan Haris del Hakim dan A.
Syauqi Sumbawi (keduanya sastrawan asli Lamongan juga seangkatan, tetapi baru
akrab sesudah balik di kampung halaman), Haris, Syauqi dan Fahrudin, sewaku akrab
bercerita kalau pernah melihat saya di Teater Eska. Haris dan Syauqi kuliah di
IAIN, namun bergabung di Sanggar Nuun, jadi praktis tidak pernah berjumpa pada tongkrongan
ESKA. Memang saya bukan mahasiswa IAIN, tapi sering keluyuran ke beberapa kampus
di Jogja yang ada sanggar teaternya, maka sangat jarang di kosan atau kontrakan
(malah di Sanggar Eska, saya punya kamar tersendiri di atas plafonnya,
1999-2000).
Fahrudin, setahu saya namanya belum nongol di koran harian
kala itu, semisal Kedaulatan Rakyat, Bernas pun Solo Pos, kemungkinan ia mulai
menyebarkan karyanya sesudah balik di Jombang, dan awal melihat tulisannya di
JawaPos berjudul “Pengarang dan Proses Kreatif” 6 Agustus 2006, sempat pengupas
perjalanan saya dan PUstaka puJAngga dengan titel “Gerilya Penulis Pemberontak”
di JP dan Pontianak Pos. Sekitar akhir tahun 2007, Fahrudin mendirikan
komunitas Lembah Pring bersama para penulis Jombang, dengan jadwal rutinnya
mengadakan acara sastra yang dinamakan ‘Geladak Sastra’ hingga 2011. Yang menggetarkan
jiwa, sebelum meninggal ia mengirimkan puisi ke JP yang diberitahukan kepada
saya, dikarena salah satunya dipersembahkan untuk saya. Ketika terbit di Jawa
Pos 2 Juni 2013, beliau telah berpulang kepada-Nya, sungguh ini teror sangat
luar biasa!
Rel, Masihkah Takdir
Terlalu Dini
Fahrudin Nasrulloh
Rel, tanganku tak bisa jauh menuliskanmu. Kepingan-kepingan
dunia berderak di mata kita. Apa kita sudah kalah. Apa kita sudah takluk pada
nasib. Pada takdir. Kau pernah bilang, “di mana pun kita berpijak, di situlah
tanah air kita.” Aku sendiri tak bisa mengendalikan nasib. Sebab aku lama
terlempar di sumurnya. Sedang kau diombang-ambingkan nasib. Diombang-ambingkan
takdir. Sementara dulu kau bilang, “Takdir harus kita tuliskan sendiri dengan
pena dan puisi.” Tapi puisi, adalah kuda terbang bersayap gagak hitam, adalah
penghancuran dari segala, adalah pembunuhan berkali-kali menikam. Kita musti
kuat, Rel. Tak cukup kita menuliskan kekalahan-kekalahan cemerlang yang
terlanjur mendekap erat ini.
Kita dikatai sudah mampus berkali-kali
Di padang suket teki ini
Kita harus bangkit, Rel
Tak ada jalan lain, tak ada jalan pintas
Dowong, 10 Maret 2013.
Dowong, yang berarti ditulis di rumahnya Sabrank. Saya jadi teringat,
Sabrank pernah bercerita, kalau Fahrudin menuliskan puisi untuk saya di
belakang rumahnya, di bawah rimbunnya pepohonan bambu dengan tiupan angin
dingin. Jika ditelusuri, judul puisinya terambil dari kumpulan puisi
Balada-balada Takdir Terlalu Dini, yang salah satu puisinya berjudul Takdir
Terlalu Dini, karya saya terbitan FKKH (Forum Kajian Kebudayaan Hindis) 2001,
terbit ulang 2006 oleh penerbit PUstaka puJAngga dan Lintang Sastra. Cetakan
FKKH itu pernah saya hadiahkan bagi calon istri saya yang pertama, dan karena
takdir terpisah, bercerailah ibundanya anak saya Ahmad Syauqillah dengan saya
2011. Dan atas puisi pula saya menikah lagi tanggal 5 Januari 2015, dengan maskawin
sebuah puisi bertitel “Sajak Maskawinku Demi Lathifa Akmaliyah.”
Membaca puisi Fahrudin di atas jadi merinding hebat; “Rel,
tanganku tak bisa jauh menuliskanmu…” Saya dilempar hempasan badai nasib besar,
demi menjalani hidup berkelana ke bumi yang dulu saya singgahi, tanah Kyai
Ageng Hasan Besari tahun 2001. Dan pengembaraan kedua di bumi Reyog 2011 akhir
sampai pertengahan 2014, tinggal di Sutejo Spectrum Center (SSC) dan Pesantren
Darul Hikam, sebelum-sesudah Fahrudin meninggalkan kita semua. Ia dengan saya
setelah pertemuan di Mojokerto, terus berkelana bareng, bedah buku saya di
Malang tepatnya IAIN, berkali-kali mengisi acara di kota Apel, menggerakkan komunitas
sastra yang bertebaran di beberapa kota Jawa Timur, khususnya Jombang,
Mojokerto, Surabaya dan Malang, sebelum adanya Pelangi Sastra Malang (bedah
buku “Trilogi Kesadaran” generasinya A. Qorib Hidayatullah, bedah “Kitab Para
Malaikat” generasinya Liza Wahyuninto bersama Fahrudin, bedah buku “Menggugat
Tanggung Jawab Kepenyairan SCB” generasinya Denny Mizhar (Pelangi Sastra Malang),
lalu ke Trenggalek mengenal esais Misbahus Surur. Lama sebelum itu bedah buku
stensilan “Kajian Budaya Semi” di UNTAG, jauh sebelum generasinya EsoK (Emperan
Sastra COK) Surabaya, buku KBS pun sempat dibedah di Jogja, pembedahnya RPA. Suryanto
Sastroatmodjo dan Amien Wangsitalaja di IAIN Jogjakarta.
Jalan gerilya ke Pulau Garam Madura lewat pintu Gresik melalui
penyair Mardi Luhung kepada penyair R. Timur Budi Raja, kepada penyair M. Fauzi
di STKIP PGRI Bangkalan, menuju penyair M. Faizi di Pesantren An-Nuqayah
Guluk-Guluk, Sumenep; menebarkan benih-benih kepenulisan di alam susastra,
searah harapan kota lain seperti Yogyakarta dalam geliatnya bersastra. Waktu
itu Fahrudin dan saya sependapat kalau Jombang ialah kuburan, tersebab para
tokohnya kebanyakan ke luar kota, Jogja, Jakarta, dsb. Buku Fahrudin yang pernah
diterbitkan PUstaka puJAngga “Syekh Bejirum dan Rajah Mantra” pengantarnya
Afrizal Malna, 2011. Ketika ia sudah menikah dan berpindah tempat tinggal di
Surabaya, saya agak jarang berjumpa kecuali ianya berkabar sedang di Jombang
atau ada kegiatan sastra di tanah kelahirannya. Dalam kesempatan itu, saya sering
menginap di tetangga desa Fahrudin yakni rumahnya penulis Sabrank, dusun Dowong (Dawung), desa Plosokerep,
kecamatan Sumobito. Kabar mangkat-nya
Fahrudin ketika saya di Ponorogo, dan lantas ke tanah kelahirannya mengikuti prosesi
pemakamannya, lalu ke Lamongan. Di lain waktu balik ke Ponorogo. Di bawah ini puisi
saya yang sempat memberikan inspirasi Fahrudin dalam menuliskan puisi kepada
saya seperti di atas. Karena terlalu panjang, maka diambil bagian akhir saja:
(XXXIII)
Ku dengar satu bintang di langit
berkata padaku; “Bukankah aku lebih bangkrut?
Manusia bebas berkeliaran sedang nasibku menunggu?
Energi yang diberikan habis, aku tak dapat berbuat lebih
sebagaimana orang-orang impikan. Maka ikhlaslah terima
selagi dirimu masih bernafas.” Setelahnya, bintang itu redup
dan tiada pernah terlihat kembali pada malam-malam serupa.
30 September 2000, Gedong Kuning, Yogyakarta.
IV
KH. A. Aziz Masyhuri, lahiyo
semua para santrinya memanggil beliau, ayah! Saya mengawali belajar menulis
secara autodidak tepatnya di asrama Al-Aziziyah, Denanyar, Jombang, sewaktu
kelas dua Aliyah tahun pelajaran 1993-1994, sejak itu mulai sadar pentingnya
membaca dan keranjingan baca buku apa saja, ini lantaran tak mungkin membawa
bentangan kanvas demi menyalurkan kebiasaan melukis di pesantren, ditambah
setiap hari menyaksikan ketekukan ayah dalam membaca, menulis, bersuntuk buku-buku
pun keluar kota menghadiri undangan, sepertinya hanya tersisa tiga jam istirahat
setiap seharinya, atau di antara kesibukannya, beliau manfaatkan istirah barang
sejenak. Itu saya ketahui karena rajin mengamati beliau semasa nyantri, dan
sebab penasaran serta didorong jiwa muda, ikut-ikutan mencoba bersibuk ria, tapi
hanya banyak baca sedikit menulis dengan tempo istirah sekadarnya, dalam waktu
tiga hari rasanya tak mampu, di hari ketiga beliau menyindir, “Belajar ya
belajar, tapi jangan sampai mabuk belajar.” Dan karena tahu pengetahuan umum
beliau juga banyak, dalam suatu kesempatan acara, barangkali Isra’ Mi’raj atau
mungkin sambutan ketua asrama (saat itu Al-Aziziyah masih di bawah naungan
pesantren induk Mamba’ul Ma’arif), saya tidak mengutip hadits pun ayat-ayat
dari kitab suci al-Qur’an, tapi mengambil kata-kata mutiara sedari pemikir
Barat sebagai pembuka, hasilnya beliau melihat dengan tersenyum tanpa teguran
setelahnya.
Setelah lolos dari kampus UWMY, menggelar pentas musikalisasi
puisi berkolaborasi gamelan dan tari atas letupan buku Takdir Terlalu Dini, bersama
penyair Evi Idawati di TBS dibantu komunitas Lapen 151, lalu balik mondok di Pesantren
Darussalam WTC (Watucongol) Muntilan, Magelang. Ngincipi sebentar di Tegalsari
(Pesantren Kyai Ageng Mohamad Besari) Ponorogo, berkeluarga, setahunan di
Gunung Kidul, lalu pulang ke Lamongan mendirikan penerbit PuJa tahun 2004; saya
membuat banyak buku-buku stensilan garapan sendiri, itu tidak lebih mengikuti
kebiasaan beliau, yang awal karya-karyanya difotokopi serta dijilid sendiri
untuk disebarkan kepara para santrinya sebagai salah satu kitab pelajaran. Buku
stensilan saya pernah menemani Gus Zainal mengisi di Tambakberas, Tebuireng,
Langitan, MA Matholi’ul Anwar, dan di Pesantren Sunan Drajat ketika Harlah
PuJa. Buku stensilan masuk Jember lewat teaterawan Rodli TL dan mengenal pelaku
teater Tomtom, yang selanjutnya menyutradari naskah saya “Zaitun; Cahaya di
atas Cahaya” (dari buku TTD, bukan stensilan) di kampus UNEJ dan IAIN Surabaya,
garapan Teater Tiang bulan Juli 2007.
Buku-buku stensilan saya (hak cipta dilindungi akal budhi) setiap
kali lahir biasanya saya showankan kepada ayah, sejak itu kian dekat seolah
beliau tidak menganggap diri ini santrinya semata juga teman menulis yang sama
merasa getir pahit senang membikin buku-buku sendiri, dan semakin akrab ketika
keadaan saya tengah berkelana kedua kalinya di Kota Warok. Saya kerap ditelepon
diajak mengikuti acara beliau, seperti ke pesantrennya KH. Hasyim Muzadi PonPes
Al-Hikam, menghadiri undangan semisal di Universitas Muhammadiyah Malang, dan yang
sungguh berkesan menghibur batin tengah menduda, diajak menjumpai KH. Marzuki
Mustamar di kampus UIN Malang, dan buku MTJK SCB dicium beliau di hadapan saya serta
ayah, setelah mendiskusikan buku Aswaja yang penulisnya meminta ayah mengantarinya,
Alhamdulillah pendapat saya diterima
beliau berdua, yakni tidak memberikan pengantar buku tersebut, karena belum
matang saat itu.
Sewaktu mukim di Ponorogo (kediamannya dosen STKIP PGRI
Ponorogo, Bapak Sutejo di SSC), saya banyak bersentuhan karya-karya ayah, sebab
diminta mengeditnya, salah satunya yang hendak cetak ulang “Ensiklopedi 22
Aliran Tarekat Dalam Tasawuf” yang dipengantari Habib Muhammad Lutfie bin Ali
bin Yahya, Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj MA., serta Martin van Bruinessen. Saya
tidak tahu berapa banyak para santri beliau yang terjun ke dunia tulis, saya tahu
yang membuat ayah kebingungan ialah Moammar Emka, ketika Jakarta Undercover terbit
awal 2000an, ayah kerap diteror pertanyaan oleh para sahabatnya sewaktu di
Jakarta. Moammar kakak angkatan, ianya kelas tiga saya di kelas satu Aliyah, namun
satu asrama Al-Aziziyah kala itu. Kedua Edi AH Iyubenu (bos Penerbit DIVA
Press), kalau tidak keliru saya pernah berpapasan dengannya ketika mengambil
honor di kantor Kedautan Rakyat semasa mahasiswa. Dan sebelum ayah meninggal,
Edi menerbitkan salah satu karya beliau, yang pada acara Reuni Akbar Al-Aziziyah,
buku tersebut dibagikan untuk para santrinya. Ketiga Fahrudin seperti Edi
lulusan MANPK. Lalu, salah satu santri beliau yang kerap showan meski jaraknya
jauh ialah Ahmad Syauqi, ia perintis Pesantren An Nawawi di bumi Tanara,
Banten, seorang menerus perjuangan Syekh Nawawi al-Bantani. Syauqi merupakan
putra KH. Ma’ruf Amin, yang kini menjabat Ra’is ‘Aam PBNU (2015-2020) dan Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia (2015-2020).
Pada suatu kesempatan di Pesantren Al-Aziziyah diadakan Temu
Wicara Penulis Muslim Nusantara, sempat bertemu sastrawan Kyai M. Faizi dari Pondok
Pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, yang sudah banyak melahirkan
penyair, dan pesantrennya kerap dijadikan bahan penelitian. Saya mengajak Sabrank
menghadiri pertemuan tersebut, ia memang sering saya ajak showan kepada beliau,
berikut ini catatannya yang saya ambil dari status facebooknya; Dari Ponorogo
bersama Nurel Javissyarqi, mampir Kediri. Maghrib baru menginjakkan kaki di
rumah KH. A. Aziz Masyhuri, Denanyar, dalam niatan membagi buku Senarai
Pemikiran Sutejo setebal 922 halaman. Satu jam lebih ngobrol dengan Beliau,
ganti kami diberi buku karya-karyanya, salah satunya berjudul “Karya
Intelektual Rais Akbar dan Rais ‘Aam Al Marhumin PB NU” yang dipengantari Dr.
Andrée Feillard. “Buku saya yang diterbitkan penerbit sekitar 25 judul, yang
saya terbitkan sendiri sekitar 60 judul. Ada juga buku yang dipengantari Martin
van Bruinessen. Saya kalau ngetik di kantor, jam 8.00-12.00. Kadang kalau
sedang asyik menulis hingga larut malam.” “Kiai masih aktif membaca?” “Iya,
sepanjang masa.” (Sabrank Suparno, Catatan Perjalanan 11 Pebruari, 2013).
Sekitar setengah bulan sebelum mangkat, ayah memimpin doa dalam Haulnya Kyai Haji Bisri Syansuri
(salah satu pendiri NU, yang lahir di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah 18 September
1886 - meninggal di Jombang 25 April 1980) yang ke 38, serta Harlah Pesantren
Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang ke 102. Setelah acara, saya menyerahkan
lukisan potret KH. A. Aziz Masyhuri, hasil sapuan kuasnya pelukis Madiun,
Rengga AP kepada Gus Muiz (Abdul Muiz Aziz
Masyhuri), yang disaksikan Ibu Nyai. Kabar wafatnya ayah, saya
ketahui lewat telepon dari saudara Ahmad Yani, santri induk seangkatan Ahmad
Syauqi. A. Yani berasal dari Gebang Kulon, Babakan, Cirebon. Tidak lama
kemudian saya meluncur sambil mengajak bareng Hamdan Jazila dengan janji
bertemu di Kota Babat, Alhamdulillah
masih diberi kesempatan mengangkat keranda beliau bersama berjubelnya para
santri serta para warga masyarakat. Alfatikah…
***
*)
Pengelana asal Lamongan, 4 September 2017. Dusun Pilang, desa Tejoasri, Laren,
Lamongan, daerah yang dikelilingi Bengawan Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar