Iskandar Noe
1 . Tentang Saya Sebagai Pembaca
Sebelum menuliskan catatan tentang buku: Membongkar
Mitos Kesusastraan Indonesia (Selanjutnya: MMKI), maka saya merasa
perlu untuk menempatkan diri saya ditempat mana saya berada dalam konteks
sebagai pembaca. Pertama, saya adalah orang yang gemar membaca, artinya gemar
mendapatkan sesuatu berupa pengertian-pengertian baru, hiburan, dan
sensasi-sensasi lain dari hasil pembacaan teks.
Dari alasan yang pertama ini
terkandung cerita mengenai bagaimana saya mendapatkan buku MMKI. Ketika saya
melihat paparan cover buku ini di Facebook (FB) sebenarnya saya sudah tertarik
ingin membacanya, tetapi untuk pengadaan buku itu sudah terlambat, karena
anggaran pembelian buku saya setiap bulan sudah meluncur ke tempat lain.
Untunglah promotor buku ini berbaik hati untuk mencatat saya dalam daftar pre-order, hingga
beberapa hari kemudian saya bisa menerima kiriman bukunya, dan kemudian
berkesempatan membacanya. Alasan yang kedua adalah: Sebagai salah satu pembaca
tentu saja saya tidak mewakili pembaca yang lain. Sebagaimana alasan pertama
yang saya sebutkan tadi, membaca saya ibaratkan mirip dengan menonton suatu
pertunjukan, entah itu pertunjukan wayang kulit, orkes dangdut, konser musik
atau bioskop. Buku adalah tiket masuk, isi buku adalah tarian penulisnya dan
saya menonton di situ. Sebagai penonton tentu saya berhak tertawa, tepuk-tangan
bersorak, diam maupun berteriak1. Sama-sama menonton, posisi saya tentu berbeda
dengan dewan juri yang berhak memberi nilai sesuai dengan kriteria-kriteria
tertentu untuk sebuah ajang pertunjukan kontes menyanyi misalnya. Tetapi saya
masih berhak memilih juara favorit yang dipilih oleh para penonton. Disini saya
mengupayakan sebagai penonton yang dengan serius dan takzim menonton dan
menikmati pertunjukan selesai. Bayangkan sesudah pertunjukan, saya diwawancarai
oleh seseorang dengan pertanyaan: “Bagaimana menurut anda pertunjukan tadi?”
Jawaban yang saya berikan tentu saja tidak seluruhnya obyektif meskipun saya
berusaha keras. Selalu saja ada unsur subyektivitas itu pasti2. Apalagi MMKI
bukanlah buku biasa sebagaimana mengutip Tengsoe Tjahjono: Dalam buku ini Nurel
dirangsang oleh tafsir Ignas Kleden atas puisi Sutardji Calzoum Bachri. Sebagai
tafsir sangat mungkin subjektivitas Ignas Kleden muncul. Subjektivitas inilah
yang mendorong subjektivitas Nurel membedahnya kalimat demi kalimat, paragraf
demi paragraf. Buku ini merupakan kritik atas kritik. Subjektivitas atas
subjektivitas3.
2 . Tentang Sosok Fisik Buku MMKI
Cover : Begitu saya menimang-nimang
buku MMKI yang berukuran extra half quarto setebal tidak
kurang 500 halaman ini, yang saya lakukan pertama adalah melihat cover halaman
depan. Cover itu separuh diisi oleh lukisan surealistik dengan dominasi
komposisi warna tanah yang tidak begitu menyolok: Sebuah perahu kayu dengan
tulisan lambung huruf jawa dan hanya tersisa kata le-ga. Perahu itu ditumpangi
mahluk jadi-jadian, dan tentakel besar menyeruak masuk ke lambung kapal. Nampak
tatapan penumpang di anjungan itu tertuju kepada seseorang yang berjalan
meninggalkan perahu dengan tutup kepala berupa kotak bujur sangkar yang diberi
tanda tanya. Kaki seseorang itu dibelenggu dengan rantai dan bola. Separuh
cover depan diisi dengan judul buku, diikuti dengan sebuah paragraf kutipan.
Secara keseluruhan cover depan buku ini terasa berdesak-desak dengan pesan awal
yang mau disampaikan, tetapi saking berdesak-desaknya teks
dan gambar disitu, pembaca malah tidak dapat menagkap
maksudnya secara optimal. Kutipan paragraf di depan nampak membingungkan,
misalnya terbaca beberapa singkatan MASTERA, SCB yang baru diketahui setelah
kita membuka bukunya. Demikian pula apa yang termuat di sampul belakang,
sebagai pembaca saya berharap menemukan semacam endorsement atau
testimoni yang berisi elusidasi 4. Maksud penulis dengan
kutipan-kutipan yang terpampang di situ mungkin untuk menggarisbawahi
bagian-bagian penting uraian yang ada di dalam buku. Semacam highlight.
Tetapi yang ditemukan justru percikan kutipan-kutipan yang terkesan hilang
ujung-pangkalnya.
Sub Titles: Memasuki halaman IV,
halaman sub-titles, ditemukan nama-nama penyunting, setting-layout dan Design
Cover. Saya menduga, penyunting bertindak juga sebagai proof-reader. Jika
memang demikian, salah satu tugas penyunting adalah mengamankan seluruh maksud
teks bahkan diharapkan tidak ada kesalahan sampai titik zero error.
Adalah ironis jika buku segagah MMKI ini memiliki relatif banyak salah ketik
atau bahkan menampilkan istilah maupun kosa kata baru yang pembaca harus meraba
sendiri maksud istilah dan kosa kata itu. Catatan berkaitan dengan hal ini
telah didaftar dengan cukup lengkap oleh Siwi D Saputro5. Bagi saya sebagai pembaca,
kasus ini mengesankan kerja editor yang kurang teliti atau kalau tidak ya
tergesa-gesa untuk kejar tayang, hingga apa boleh buat harus abai terhadap
wilayah penting yang sebenarnya menjadi skala prioritas tampilan teks.
Pengantar dari Penulis: Halaman V,
Pengantar dari Penulis. Saya mengharapkan adanya semacam keterangan tentang:
How to Use This Book, artinya penulis mengantarkan kepada pembaca apa yang
mau disampaikan oleh sekujur isi buku dalam bentuk sebuah ringkasan dengan
paragraf tersendiri yang termuat dalam pengantar itu. Karena isi buku ini
adalah mengkritik sebuah kritik, maka mau tak mau pembaca harus membaca lebih
dulu apa yang dikritik. Materi yang dimaksud dilampirkan pada halaman Lampiran
(halaman 411 dan seterusnya)6. Diharapkan juga, penulis mempersilahkan pembaca
untuk “loncat” dulu ke Lampiran supaya membaca keseluruhan apa yang
mau dikritisi, sehingga ketika memasuki Bagian 1 dan Bagian-Bagian
selanjutnya, dengan serta merta pembaca sudah bisa mengikuti tiap paragraf yang
dikritisi oleh penulis.
Bagian-Bagian: Terdapat dua puluh lima
Bagian yang mengupas satu per satu paragraf. Sayang sekali tiap judul
Bagian-Bagian tersebut hanya menyatakan judul yang serupa, dan menyatakan
urutan angka kupasan saja yang berbeda. Misalnya: Bagian IV – Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia (kupasan ketiga dari paragraf
awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden). Sebagai pembaca saya lebih merasa nyaman
jika pada judul setiap Bagian tidak melulu menampilkan urutan kupasan, tetapi
mengandung sub-judul. Taruhlah misalnya pada Bagian II, setelah judul utama,
dilengkapi sub-judul: Mengusut kata “Menerobos”, misalnya begitu. Jadi si
pembaca akan lebih fokus akan maksud penulis bahwa di Bagian tersebut didedah
kata “menerobos” dengan segala kaitannya. Hal ini diharapkan berlaku pada judul
Bagian-Bagian yang lain. Sebagai pembaca, saya menemui kesulitan pada setiap
bagian untuk menemukan hal terpenting apa sih yang akan
disampaikan oleh penulis pada bagian tersebut. Saya seperti menikmati tarian elok
yang ditarikan oleh penulis sepanjang tiap bagian, tetapi tidak menemukan hal
kritis terpenting yang mau disampaikannya pada Bagian itu. Mungkin juga di
wilayah ini, saya boleh dicurigai sebagai pembaca yang strukturalis, yang
menuntut MMKI ditulis secara struktural sebagai layaknya textbook.
Tetapi memang begitulah, karena MMKI adalah sekumpulan esai, bukan novel fiksi.
Saya tidak keberatan dengan tarian yang dilakukan oleh penulis pada setiap
Bagian yang ditulisnya, tetapi menurut saya, tarian itu beresiko mengendurkan
daya kritik dan mengurangi daya ketajamannya. Maka pada setiap akhir Bagian,
saya menyarankan disediakan sebuah paragraph yang berlaku sebagai epilog untuk
menyimpulkan gagasan utama Bagian tersebut dan ringkasan kritik yang telah
dituliskannya. Jika tidak demikian, maka tulisan setiap Bagian berkesan nggeladrah.
3 . Beberapa Simpulan
Sebagai Pembaca, saya merasakan perlu ekstra tenaga untuk
membaca MMKI. Mempelajari dulu tulisan Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri
pada lampiran. Niscaya memang harus saya baca dulu agar memahami apa yang
dikritik oleh penulis MMKI- Nurel.
Editor dari MMKI seharusnya tidak melakukan kesalahan,
baik itu kesalahan typo dan salah cetak yang sejenis, demikian juga dengan
istilah-istilah yang tidak baku dan relatif baru diberi catatan kaki, dan
penjelasan seperlunya sehingga (dari sisi pembaca) pembacaan teks menjadi lebih
nyaman tanpa pembiaran melewati teks-teks yang kurang dimengerti oleh pembaca.
Secara keseluruhan MMKI menyampaikan banyak pesan. Ini
nampak pada kepiawaian penulis mengumpulkan sekian banyak potongan esai, sayang
sekali tidak ada daftar bacaan dan referensi yang dicantumkan disana. Daftar
referensi, Daftar Pustaka, menurut saya sangat penting, sebab orang hanya bisa
berkarya dengan memakai pundak orang lain sebagai acuan. Hal
ini selain sebagai penghargaan atas karya orang lain itu, juga untuk
mempermudah pembaca mengenali urutan pemikiran yang disampaikan oleh penulis.
Catatan ini dibuat ketika pembacaan MMKI masih
berlangsung, dan jangan lupa bahwa catatan ini disusun oleh seorang pembaca
yang tidak mewakili pembaca lainnya, dengan kata lain barangkali mengandung
lebih banyak subyektivitas daripada obyektivitasnya.
Wassalam. Ever Onward.
1. Menonton, dalam ungkapan Jawa: Ndelok, singkatan dari:
Kendel alok atau berani berteriak.
2. Bandingkan misalnya dengan Martina Rysová pada Suroso
@2015: Kritik sastra adalah bidang diskusi sastra, yang, melalui ulasan teks
dan teks-teks lain bertujuan untuk menginterpretasikan, mengevaluasi dan
mengklasifikasikan karya sastra. Kritik sastra bertujuan untuk membedakan dalam
karya sastra nilai aktual dari yang tidak nyata, dan menilai serta mengevaluasi
kualitas karya sastra. Meskipun kritik sastra berdasarkan aturan teori sastra,
juga berlaku rasa estetika mereka, sehingga setiap kritik tidak dapat
melepaskan kesan subjektif dari penulisnya.
3. Tengsoe Tjahjono sebagaimana dikutip Siwi D. Saputro.
4. Perlakuan baik, semacam apresiasi ringkas.
5. Ibid, Siwi D Saputro, FB 31/03/2018.
http://sastra-indonesia.com/2018/04/catatan-dari-seorang-pembaca-mmki/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar